Sejarah Asal-Usul Paksi Pak Marga Liwa Balik Bukit, di Lampung Barat
Sejarah Asal-Usul Paksi Pak Marga Liwa
Balik Bukit, di Lampung Barat
Penulis:
Ir. Syamsul A Siradz, M. Sc., Ph. D.
(Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I)
Pendahuluan
Warahan adalah sebuah kata dalam Bahasa Lampung yang artinya mirip dengan hikayat atau cerita atau sejarah yang meriwayatkan asal usul suatu kaum atau suatu peristiwa di masa lampau dalam bentuk penyampaian lisan. Dalam bentuk tertulis, warahan lazim disebut sebagai “tambo.”
Tulisan/huruf “r” dalam Bahasa Lampung dibaca/diucapkan mendekati “gh atau kh”, misalnya menyebut nama: Ratu Junjungan Marga, Raja Pemuka Adat, Radin Kebilang; nama tempat: atar kudan, Sukamarga; radu rua bingi mak ratong (penulisan yang benar bukan khadu khua bingi mak khatong).
Warahan sering juga disampaikan oleh orang-orang tua, misalnya kakek atau nenek kepada cucunya di malam hari sambil cucu memijat sang kakek atau nenek. Isi warahan umumnya berupa kisah-kisah zaman dahulu yang berisi nasihat agar anak-anak/cucu bersikap dan berbuat baik dan takzim kepada orang tua, agar menjadi anak soleh taat beragama, atau dapat juga berupa cerita-cerita jenaka seperti kancil dan buaya sehingga sang cucu bergembira dan bersemangat mendengarkan warahan dan tidak terasa hampir satu-dua jam memijat sang nenek.
Kali ini kita akan menyingkap asal usul penduduk dari masyarakat adat marga Liwa, Lampung Barat yang terutama bersumber dari tambo dan warah yg diterima oleh penyimbang adat Buay Tuala marga Liwa. Buay Tuala merupakan bagian dari masyarakat adat saibatin yang keberadaanya di dataran tinggi Bukit Sepulang, Balik Bukit Lampung Barat diperkirakan sejak abad ke 14 M.[2] Wilayah ini dihuni oleh suatu masyarakat adat dari garis keturunan leluhur tertentu yang terikat dalam satu kekerabatan.
Masyarakat adat marga Liwa dapat dipilahkan ke dalam 3 suku, yaitu Suku Doh, Suku Tengah dan Suku Unggak yang saat ini tersebar terutama pada 18 pekon dalam wilayah Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sebagian lagi bermukim di Bandar Lampung, Semaka, Liba, Kebun Tebu, Metro dan Waya.[3,4] Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukau dan Batubrak, sebelah selatan dengan Kecamatan Way Krui, sebelah timur dengan Kecamatan Batubrak dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sukau.
Kelompok masyarakat adat marga Liwa ini dipimpin oleh empat penyimbang adat yang juga dikenal sebagai Paksi Pak marga Liwa, yaitu:
Raja Persi (Suku Doh) berkedudukan di Pekon Serbaya, Sukanegeri;
Raja Tuala (Suku Tengah) berkedudukan dan tinggal di Pekon Gedung;
Raja di Ginting (Suku Tengah) berkedudukan dan tinggal di Pekon Tengah;
Raja di Pulau Langgar (Suku Unggak) berkedudukan dan tinggal di Pekon Negeri Agung.
Peta Kecamatan Balik Bukit dan sekitarnya
Diuraikan di dalam tambo bahwa keempat raja tersebut di atas masing-masing mempunyai wilayah pemerintahan. Raja Tuala misalnya, daerah kekuasaannya meliputi wilayah mulai dari Way Sewani terus ke Teba Nitak, terus ke Telpung Kanduk sampai Tutung Sebatang, terus ke Siring Telaga, terus ke Halian Rubok, terus ke Way Pesasa, terus ke Pemuka Kanduk Hijau, terus ke Rulah Titi Pandan terus ke Ham Tebiu, terus ke Way Pancor Naga, terus ke arah Bukit Sepulang. Itulah daerah kekuasaan Raja Tuala.[2]
Konon wilayah marga Liwa yang dimaksud di atas termasuk bagian dari wilayah kerajaan Skala Brak kuno yang pada awalnya ditempati oleh Suku Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa (animisme). Diriwayatkan bahwa eksistensi Suku Tumi terusik akibat kedatangan empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi yang tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Kekalahan Buay Tumi merupakan awal berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. [1]
Pengaruh Islam di Pagaruyung
Islam di Pagaruyung mulai berkembang pada abad ke-16 yang mana pada awal abad tersebut hanya satu dari tiga raja Minangkabau yang telah beragama Islam. Perkembangan Islam di Pagaruyung berlangsung melalui para musafir & guru agama yg singgah atau datang dari Aceh & Malaka.[5] Seorang ulama Aceh yg terkenal, Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), memiliki murid bernama Syaikh Burhanuddin Ulakan yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam pada abad ke-17 dan raja Islam yg pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif[5] yang dinobatkan sebagai Sultan Pagaruyung pada tahun 1560. Oleh karena itu, patut diduga bahwa yaitu empat orang putera raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Skala Brak membawa agama Islam paling cepat pada pertengahan abad ke-16 atau bahkan mungkin abad ke-17.
Pagaruyung pra-Islam dan asal-usul Paksi Pak Marga Liwa
Lebih lanjut disebutkan di dalam tambo Buay Tuala marga Liwa bahwa puyang Paksi Pak marga Liwa adalah tiga bersaudara huluba lang kerajaan ”Pagaruyung” yaitu Naga Berisang, Rakin Sakti, dan Rupa Rakin yang melarikan diri akibat kekalahan Pagaruyung pada peperangan melawan Majapahit. [2] Munculnya nama Pagaruyung sebagai nama sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui secara pasti. [5] Apabila ditelusuri lebih jauh, peristiwa pelarian puyang Nagaberisang bersaudara di atas erat kaitannya dengan kerajaan Singhasari dan Majapahit. Tersebutlah bahwa pada tahun 1275 Prabu Kertanegara dari Singhasari mengirim pasukan/ekspedisi Pamalayu untuk menaklukan Bhumi Melayu di bawah pimpinan Laksamana Kebo Anabrang.[6,8] Sesudah Kerajaan Melayu ditaklukkan, raja Melayu mengirimkan dua puterinya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga untuk dinikahkan dengan Prabu Kertanegara dari Singhasari sebagai tanda persahabatan. Tetapi pada saat itu telah terjadi pergolakan kekuasaan di Singhasari yang diawali dengan pemberontakan Jayakatwang namun berhasil dipadamkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Mongol. Raden Wijaya adalah menantu Prabu Kartanegara yang kemudian mendirikan kerajaan Majapahit.[7]
Dara Petak, salah seorang dari dua puteri Melayu di atas, diperisteri Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh seorang maha menteri yang kemudian melahirkan Adityawarman. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim ke Bhumi Melayu sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit dengan tujuan memperluas daerah taklukan Majapahit.[9] Adityawarman pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dan menamakan kerajaannya Malayapura dengan ibukota Dharmasraya.[7] Penaklukkan dilanjutkan ke daerah pedalaman Minangkabau sehingga mencapai Tanah Datar yang kaya emas. Adityawarman kemudian pada 1350 memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanah Datar dan mendirikan kerajaan Pagaruyung)[5, 11] yang merupakan penyatuan dari beberapa kerajaan Melayu sebelumnya.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, pemicu terjadinya pelarian dari puyang Nagaberisang bersaudara adalah disebabkan kekalahan dalam peperangan melawan Majapahit dan bahwa yang berperang melawan Majapahit adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang hakekatnya mempertahankan diri terhadap ekspansi Adityawarman. Oleh karena itu, kuat dugaan bahwa puyang Nagaberisang bersaudara sebenarnya adalah hulubalang kerajaan Melayu yang ditaklukkan, dan bukan hulubalang Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman.
Ekspedisi Aditywarman dan rute pelarian puyang Nagaberisang bersaudara
Akibat kekalahan kerajaan Melayu dari Majapahit, tiga bersaudara puyang Paksi Pak di atas melarikan diri, awalnya ke Banten.[2] Awal pelarian dari bumi Melayu diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-14, namun tak lama kemudian Banten jatuh ke tangan Majapahit. Atas usul raja Banten, ketiga puyang di atas agar melarikan diri ke Palembang ditemani oleh putera raja Banten. Tetapi ternyata tidak terlalu lama kemudian, yaitu pada 1377, Palembang juga jatuh ke tangan Majapahit.[2,7] Ketiga puyang di atas kemudian melarikan diri ke arah matahari terbit dan akhirnya tiba di Lampung, di daerah Haji Pemanggilan.
Tidak lama kemudian, Rupa Rakin yang bungsu dari tiga bersaudara tersebut meminta izin untuk meneruskan perjalanan. Ia kemudian pergi dan akhirnya sampai di Gunung Pesagi. Dari Gunung Pesagi, Rupa Rakin berjalan mengikuti sungai dan akhirnya ia sampai di Ranau, lalu dari Ranau ia terus ke Sukau dan dari Sukau ia terus ke Liwa dan menetap di Liwa.
Di Liwa, Rupa Rakin membuat pondok (sapu) di bawah pohon kayu besar. Tidak lama setelah itu, ia mendengar kokok ayam “beruga.” Setelah mendengar kokok ayam beruga tersebut, ia pun segera membuat jerat dan akhirnya beruga tersebut dapat ditangkapnya. Kemudian datang beruga betina dan sejak saat itu beruga berkembang biak sebagai peliharaan Rupa Rakin. Setelah beruga pertama yang ditangkap Rupa Rakin itu mati, maka beruga itu dikuburkan dan kuburan beruga tersebut sekarang dikenal sebagai “keramat beruga.” Selang beberapa saat setelah kedatangan beruga di atas, Rupa Rakin melihat ada serumpun padi yang kemungkinan dibawa oleh sang beruga. Padi inilah bibit padi pertama yang ditanam oleh Rupa Rakin di Liwa.
Beberapa waktu kemudian, Rupa Rakin membuat rumah. Setelah rumah itu selesai, ia pergi ke Haji Pemanggilan dengan maksud mencari istri. Rupa Rakin kemudian kembali ke Liwa dengan membawa istri yang tidak lain adalah keponakan beliau sendiri yaitu anak dari Naga Berisang yang bergelar Ratu Menapik. Rupa Rakin dan Ratu Menapik berputra tiga orang, yaitu yang tua bernama Temu, yang kedua bernama Jaya, dan yang ketiga bernama Raja. Setelah meninggal, Ratu Menapik dimakamkan di Semenapik yang hingga sekarang dikenal sebagai “Keramat Semenapik” (terletak dekat pekon Serbaya, Liwa). Makam ini dipercaya sebagai makam orang pertama yang bertempat tinggal di Liwa yang disebut Sai Mena Tepik, Kecamatan Balik Bukit-Liwa. [12]
Temu yang kemudian bergelar Susunan Sangun Ratu memegang kekuasaan di Liwa dan berkedudukan di Gedung, Jaya memegang kekuasaaan dan berkedudukan di Kembahang, sedangkan Raja memegang kekuasaan dan berkedudukan di Sukau.
Tidak lama kemudian, si Jalan dari Haji Pemanggilan datang ke Liwan, yang kemudian oleh Susunan Sangun Ratu dikawinkan dengan Inang Ratu. Kemudian, Rakin Sakti (anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Pagar Ruyung) datang ke Kembahang dengan membawa lima lembar tikar. Lima tikar tersebut selembar dikasihkan kepada si Jalan, selembar dikasihkan kepada si Jaya, selembar dikasihkan kepada si Raja, selembar kepada Sebelunguh. Selembar lagi dikasihkan kepada Susunan Sangun Ratu, tetapi Susunan Sangun Ratu menolak dengan mengatakan “apa guna saya tikar karena saya sudah raja di sini; kasihkan saja ini tikar kepada si Tali.”
Susunan Sangun Ratu berputra lima orang laki-laki dan semuanya menjadi raja yang dikenal sebagai Paksi Pak ke-Lima Way Nerima. Yang seorang menjadi raja di Way Tuala dan disebut Raja Tuala, seorang lagi menjadi raja di Ginting, seorang lagi menjadi raja di Pulau, seorang lagi menjadi raja di Serbaya yang disebut Raja Persi, dan yang seorang lagi menjadi raja di Way Nerima.
Raja Tuala berkedudukan di Gedung dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah mulai dari Way Sewani, terus ke Teba Nitak, terus ke Telpung Kanduk sampai Tutung Sebatang, terus ke Siring Telaga terus ke Halian Rubok, terus ke Way Pesasa, terus ke Pemuka Kanduk Hijau, terus ke Rulah Titi Pandan, terus ke Ham Tebiu, terus ke Way Pancor Naga, terus ke arah bukit Sepulang. Itulah daerah kekuasaan Raja Tuala dilom pekon telu.
Wilayah kekuasaan Raja di Ginting meliputi daerah Ginting sampai Bebat, Raja di Pulau meliputi Setelpung Kanduk sampai Way Keringking Sukamarga. Raja Persi yang berkedudukan di Serbaya mempunyai kekuasaan yang meliputi daerah Serbaya, Seranggas, dan Sehuok.
Kemudian datang Radin Mapah minta “tungguan” kepada Raja Tuala. Oleh Raja Tuala ia diberi tanah basah (pesabahan) di perbatasan Telpung Kanduk dan tempat tinggal (perkampungan) di Seranjangan. Sesudah itu datang pula Radin Kelipah yang oleh Raja Tuala diberi pesabahan dan tempat perkampungan di Tanjung. Setelah itu datang pula Radin Sunguh minta tungguan kepada Raja Tuala. Oleh Raja Tuala, Radin Sunguh diberi pesabahan di Sabah Renoh dan tempat perkampungan di rumpun Kemandian Bumi Agung. Setelah itu datang pula seorang bujang dari Batubrak yang kemudian oleh Raja Tuala dicarikan perempuan dan diberi pesabahan dan perkampungan di Banjar Agung. Setelah itu datang pula seorang bujang dari Way Serungkuk dan oleh Raja Tuala diperlakukan sama seperti bujang dari Batubrak tadi. Tugas kedua bujang dari Batubrak dan Way Serungkuk itu adalah “tukang tangguh rik tumpak ni tangguh” dalam lingkungan kerajaan Tuala.
Kesimpulan
Nenek moyang Paksi Pak marga Liwa (puyang Nagaberisang bersaudara) diduga kuat adalah hulubalang kerajaan Melayu yang ditaklukkan oleh Aditywarman uparaja Majapahit, bukan hulubalang kerajaan Pagaruyung.
Paksi Pak marga Liwa sudah ada dan mastutin di dataran tinggi Sepulang-Balikbukit, Liwa sejak awal abad ke-15, jauh sebelum terjadinya migrasi Buay Tumi keluar dari Skala Brak (pertengahan abad ke-16).
Sampai sebelum zaman penjajahan Belanda, masyarakat adat marga Liwa merupakan kelompok mandiri dengan penyimbang adat Raja Persi, Raja Tuala, Raja Ginting, dan Raja di Pulau Langgar, lazim dikenal sebagai Paksi Pak Liwa yang keberadaannya tidak terkait dengan kebuayan lain mana pun. Setelah Belanda masuk, yang ditandai dengan pembentukan marga Liwa pada 1861, maka Liwa diletakkan di bawah pengawasan Sukau, dan Sukau di bawah pengawasan Ranau.
Catatan penulis:
Sinopsis ini disusun oleh Ir. Syamsul Arifin bin M. Siradz, M. Sc. Ph. D, gelar Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I atas dasar tambo, silsilah dan warah dari ibunda Batin Kemala. Ibunda Batin Kemala yang bersama-sama dengan Bagus Radin (H. Jalil, ayah dari Raja Masyhur), Lamsinah, Habibah dan Rosidah mendengarkan langsung warah/cerita ini dari Raja Normala menjelang kepindahan Raja Normala ke Semaka (setelah peristiwa Gedung Mutung).
Riwayat ini diceritakan kembali oleh Batin Kemala kepada sang putra Syamsul A. Siradz sekitar tahun 1970. Batin Kemala wafat pada tahun 1984, berusia sekitar 80 tahun.
Keturunan Radin Mapah antara lain adalah Adenan (Banjar Agung);
Keturunan Radin Kelipah antara lain adalah Kesidin (Tanjung);
Keturunan Radin Sunguh antara lain adalah M Saleh (Sukanegeri);
Keturunan Bujang Batubrak antara lain adalah A Karim (Tanjung);
Keturunan Bujang Serungkuk antara lain adalah Mahdor (Langaman).
Setelpung Kanduk adalah pepulau dekat sabah ni Daud (St Aisyah)
Bebat – sabahni M. Jalinus.
Bandar Lampung, 5 Februari 2017
Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I
Ir. Syamsul A. Siradz, M. Sc., Ph. D.
Apabila puyang Nagaberisang bersaudara disebut sebagai generasi 1 (sebagai cikal bakal Paksi Pak Liwa) masuk ke Lampung setelah kejatuhan Palembang ketangan Majapahit (1377) dan andaikan satu generasi dihitung berjangka-waktu 20 th, maka dapat diduga bahwa Paksi Pak yang merupakan generasi ke 3 telah hadir dan mastutin di Liwa sejak sekitar tahun 1400-an awal atau awal abad 15 M.
Catatan akhir / Pustaka
Kepaksian Skala Brak, https://id.wikipedia.org/wiki/Kepaksian_Sekala_Brak; 14 Mei 2016
Tambo Buay Tuala, tuha di marga mangkuk di pekon Gedung, Liwa, Balikbukit, Lampung Barat.
Batin Kemala, pelaku sejarah serta mendapat hikayat langsung dari Raja Normala, Personal Communication
KH Arif Mahya, sesepuh/Ulama marga Liwa-Lampung Barat, Personel Communication
Sejarah Kerajaan Pagaruyung, 1347–1825 serta Pembagian Wilayah Darek dan Rantau, sejarahnusantara[dot]com/kerajaan-di-sumatera/sejarah-kerajaan-pagaruyung- 1347%E2%80%931825-serta-pembagian-wilayah-darek-dan-rantau-10019.htm
Ekspedisi Pamalayu, https://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu
Majapahit, https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
Singhasari, https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari
Dharmasraya, https://id.wikipedia.org/wiki/Dharmasraya
Kerajaan Pagaruyung, https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung
Irfan Anshory (2012), Aditywarman dan Pagaruyung,
Objek wisata religi provinsi Lampung, pariwisatalampung[dot] com/berita/8-jalur-wisata/257-objek-wisata-religi-provinsi-lampung.html
Komentar
Posting Komentar