Pemerintahan Pesirah sampai Kepala Negeri di Marga Liwa
Pemerintahan Pesirah sampai Kepala Negeri
di Marga Liwa
Penulis
Ir Syamsul A Siradz MSc. PhD
(Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I)1
Pendahuluan
Masyarakat adat marga Liwa, merupakan bagian dari masyarakat adat Lampung Pesisir yang keberadaanya di dataran tinggi bukit Sepulang, Balikbukit Lampung Barat diperkirakan sejak abad ke 14 M[1]. Wilayah ini dihuni oleh suatu masyarakat adat dari garis keturunan leluhur tertentu yang terikat dalam satu kekerabatan. Masyarakat adat marga Liwa dapat dipilahkan kedalam 3 suku, yaitu suku doh, suku tengah dan suku unggak yang saat ini tersebar terutama pada 18 pekon dalam wilayah Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sebagian lagi bermukim di Bandar Lampung, Semaka, Liba, Kebun Tebu, Metro dan Waya [2,3]. Kelompok masyarakat adat ini dipimpin oleh empat penyimbang adat yang juga dikenal sebagai Paksi Pak marga Liwa, yaitu:
Raja Persi (suku doh) berkedudukan di pekon Serbaya, Sukanegeri
Raja Tuala (suku tengah) berkedudukan dan tinggal di pekon Gedung
Raja di Ginting (suku tengah) berkedudukan dan tinggal di Pekon Tengah
Raja di Pulau Langgar (suku unggak) berkedudukan dan tinggal di pekon Negeri Agung
Sejak keberadaannya, tata-pemerintahan, hubungan dan peristiwa adat dalam lingkungan masyarakat adat Liwa dikuasai dan di pandu secara apik oleh Paksi Pak di atas. Keadaan ini berlangsung sampai kekuasaan Belanda masuk di Liwa yang ditandai oleh pembentukan marga Liwa pada tahun 1861. Pembentukan marga Liwa oleh Belanda diperkuat dengan Besluit Residen Van Bengkulen 21 Mar 1862 No. L.2.[4,5]. Marga dipimpin oleh seorang kepala marga yang dikenal dengan sebutan Pesirah. Pesirah marga Liwa yang pertama adalah Pengiran Indrapati Cakranegara (keturunan Buay Nyerupa) berkedudukan di pekon Negeri Agung[6]. Sejak saat itu sampai akhir masa penjajahan, Liwa oleh Belanda diletakkan dibawah pengawasan Sukau dan Sukau dibawah pengawasan Ranau.
Peratin 12
Karena merasa tidak senang dan pada hakekatnya tidak mau tunduk kepada penjajah, ke-empat raja dari Paksi Pak tidak mau menjabat jabatan apapun atas tunjukan Belanda[1, 2]. Sehubungan dengan itu, Paksi Pak membentuk Peratin 12 yang berfungsi sebagai pembantu pelaksana harian pemerintah (pemerintahan kolonial)[1]. Di dalam struktur pemerintahan kolonial, peratin ditempatkan dibawah pesirah. Peratin 12 ini diberi gelar/adok Radin. Peratin 12 ini terbagi sbb: 3 peratin berasal dari suku doh, 6 peratin dari suku tengah serta 3 peratin dari suku unggak.
Pada perkembangan berikutnya kedudukan Pesirah kemudian diturunkan dari Pengiran Indrapati Cakranegara kepada anak pertamanya yang bernama Si Jaya dengan adok Pangeran Kemala Raja ( Besluit Residen Bengkulen No. 4090 tertanggal 15 Oktober 1881 ) namun kemudian Pangeran Kemala Raja pindah ke Semaka dan menjadi Pesirah Negara Batin Semaka[6]. Kepindahan Pengiran Kemala Raja menimbulkan kekosongan sehingga pemerintah kolonial memerintahkan agar dilakukan pemilihan Pesirah yang baru[1,2].
Pemilihan Pesirah
Sehubungan dengan perintah tsb maka Paksi Pak dan Peratin 12 mufakat untuk “ngunggakkon” (mendatangkan) Bustami dari Srikaya (Krui) yang diketahui masih mempunyai tetes darah Pekuon (jelma ram jak Pekuon) dan masih ada hubungan puyang dengan Paksi Pak. Bustami bersedia “munggak” asalkan disediakan “pesabahan dan pari sang balai” ("lahan persawahan dan padi satu gudang") . Permintaan tsb disanggupi oleh Paksi Pak dengan pengaturan sbb:
Raja Tuala menyerahkan sabah Penyalahan dan pepulau Seranjangan
Raja Ginting menyerahkan ham (kolam) Rebutundun
Raja di Pulau Langgar menyerahkan 2 bidang sabah
Raja Persi bertugas menjemput Bustami dari Srikaya-Krui
Kemudian Bustami munggak ke Liwa dan selanjutnya diangkat menjadi Pesirah marga Liwa serta oleh Paksi Pak diberi adok Batin Tuha yang oleh pihak Belanda disebut Pengiran Lunik. Pada waktu pertama kali sampai di Liwa, Bustami dan keluarganya “tumpak Lamban-ni (rumah) Raja Persi”, sesudah itu pindah ke lamban Bandar Agung (lambanni Raja Tuala) di pekon Gedung. Kemudian setelah itu pindah ke “pavilliun” ni lamban Kerajinan. Bersamaan dengan itu dibangun lamban Pekuon di pekon Gedung Asin (Langaman) dan setelah selesai Batin Tuha dan keluarganya pindah dan menetap untuk seterusnya di lamban Pekuon .
Setelah tua, Batin Tuha makin merasakan perlakuan penjajah yang sangat tidak dapat diterima sehingga menimbulkan konflik yang berujung Batin Tuha meletakkan jabatan dari jabatan Pesirah[3]. Untuk menentukan gantinya atas perintah Belanda dilakukan pemilihan Pesirah baru dengan calon sbb:
Calon dari Suku Tengah :
1. Ma’ruf bin Bustami
2. Amir bin Bustami
Calon dari Suku Unggak :
1. Abdoel Rahman
Dalam pemilihan, yang menang ternyata Abdoel Rahman dari Negeri Agung. Dengan demikian maka jabatan Pesirah yang semula diduduki oleh Batin Tuha digantikan oleh Abdoel Rahman. Atas restu Belanda Abdoel Rahman diberi gelar/adok Pengiran dan lazim dikenal sebagai Pengiran Abdoel Rahman. Setelah habis masa jabatan Pengiran Abdoel Rahman dilakukan pemilihan pesirah kembali dengan calon sbb:
Calon dari suku tengah : Johan bin Ma’ruf
Calon dari suku unggak : Mhd Athorid bin Abdoel Rahman
Mhd Athorid keluar sebagai pemenang dan kemudian menjadi Pesirah marga Liwa menggantikan ayahnya Pengiran Abdoel Rahman. Setelah Jepang masuk (zaman Jepang) kedudukan Pesirah dijabat olek M. Zawawi yang sebelumnya adalah juru tulis dari Pesirah Mhd Athorid. Setelah merdeka, jabatan Pesirah digantikan oleh M.Zaini (keluarga Raja Persi-Serbaya) berkedudukan di Pasar Liwa.
Pada periode berikutnya setelah Pemilu tahun 1955 sistem “Pesirah” peninggalan Belanda di hapuskan dan digantikan oleh system “Negeri” yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri [2, 3]. Kepala Negeri Pertama adalah M. Arsyad Siradj yang tiada lain adalah keturunan dari adik perempuan Batin Tuha. M Arsyad Siradj mulai menjabat Kepala Negeri Wilayah Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Utara mulai tahun 1956. Setelah selesai masa jabatannya M Arsyad digantikan oleh Kepala Negeri yang ke II yaitu Muslim dari Kenali. Setelah masa jabatan Muslim berakhir maka berakhir pulalah pemerintahan sistem Negeri di marga Liwa. Pemerintahan daerah kemudian dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Tingkat III (Dati III) yang dipimpin oleh seorang Camat sampai sekarang.
Kesimpulan
Sebelum Belanda masuk Liwa, masyarakat adat marga Liwa merupakan kelompok mandiri dengan penyimbang adat Raja Persi, Raja Tuala, Raja di Ginting dan Raja Dipulau Langgar, lazim dikenal sebagai Paksi Pak marga Liwa yang tidak terkait dengan kebuayan manapun. Setelah Belanda masuk yang ditandai dengan pembentukan marga Liwa maka Liwa diletakkan dibawah pengawasan Sukau dan Sukau dibawah Ranau.
Peratin 12 dibentuk untuk melaksanakan fungsi sebagai pelaksana roda pemerintahan kolonial. Didalam struktur pemerintahan, peratin ditempat kan dibawah pesirah. Peratin 12 ini diberi gelar/adok Radin.
Istilah Marga, Peratin dan Pesirah adalah produk kolonial yang diguna kan sebagai piranti untuk menihilkan peranan dan pengaruh penyimbang adat.
1) Penyimbang adat Buay Tuala Marga Liwa, Lampung Barat
Rujukan
Anonim - Tambo Buay Tuala tuha di marga mangkuk di lamban Bandar Agung pekon Gedung Liwa , Balik Bukit, Lampung Barat
Batin Kemala, pelaku sejarah serta mendapat hikayat langsung dari Raja Normala, Personal Communication
KH Arif Mahya, sesepuh/Ulama marga Liwa-Lampung Barat, Personel Communication
Novan Adiputra - Marga Liwa, http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html
Ahmad Syafe’i, Marga Marga Di Wilayah Sekala Brak,
http://kerajaanlampung.com/20150120/marga-marga-di-wilayah-sekala-brak/
Novan Adiputra - Sai Batin Marga Liwa,
http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html
Dokumen Pendukung
M. Arsjad Siradj Kepala Negeri I Sekalabrak, Kecamatan Balikbukit- Lampung Utara
Informasi yang sangat bermanfaat
BalasHapus